Senin, 29 Agustus 2011

POSISI JARI TELUNJUK PADA SAAT DUDUK TAHIYAT DAN SIKAP MUHAMMADIYAH MENGENAI AHMADIYAH DAN RUU PORNOGRAFI

Pertanyaan dari:
Dedi Hermawan, Bogor, Jawa Barat
(disidangkan pada Jum’at, 25 Safar 1430 H / 20 Februari 2009 M)


Pertanyaan:

Assalaamu'alikum Wr. Wb.
1.      Dalam pelaksanaan sholat, pada saat tahiyat, posisi jari telunjuk bergerak atau diam?
2.      Sikap muhammadiyah mengenai ahmadiyah dan RUU Pornografi seperti apa?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

1.      Tentang pelaksanaan shalat, posisi jari telunjuk pada saat tahiyat, bergerak atau diam.
Masalah menggerakkan jari telunjuk ketika duduk tasyahud, baik awal maupun akhir dalam shalat adalah salah satu masalah yang masih memerlukan penjelasan dan penelisikan lebih lanjut terutama pada kualitas sanad hadits-hadits antara yang tidak memerintahkan dan yang membolehkan menggerakkannya. Oleh karena itu, sekalipun masalah ini pernah ditanyakan dan telah pula dijawab serta dimuat di Buku Tanya Jawab Agama Jilid 5 halaman 44-46, berikut ini kami tambahkan penjelasan tentang posisi jari telunjuk pada saat tahiyat.
Hadits yang sering digunakan sebagai dalil bagi orang yang menggerakkan jari telunjuk saat tasyahud adalah hadis riwayat an-Nasa’i dari sahabat Wail bin Hajar (Sunan an-Nasa’i: 1192). Berikut kami kutip lengkap dengan sanadnya:
أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ: أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللهِ ـ يعني ابْنُ الْمُبَارَكِ ـ عَنْ زَائِدَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ كُلَيْبٍ قَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي أَنَّ وَائِلَ بْنَ حُجْرٍ قَالَ: قُلْتُ لَأَنْظُرَنَّ إلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ كَيْفَ يُصَلِّي فَنَظَرْتُ إلَيْهِ فَوَصَفَ قَالَ: ثُمَّ قَعَدَ وَافْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ كَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى فَخِذِهِ وَرُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَض اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَع أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا. مُخْتَصَرٌ. [رواه النسائي]
Artinya: “Suwaid bin Nashr mengkabarkan dari Ibnu Mubarak dari Zaidah (bin Qudamah) dari Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari Wail bin Hujr yang berkata: "Aku akan akan melihat bagaimana shalat Rasulullah saw, maka aku telah melihatnya dan memperhatikan gerakannya. Ia berkata: Kemudian ia duduk (tasyahud) dengan iftirasy (duduk di atas telapak kaki kiri yang dihamparkan dan telapak kaki kanannya ditegakkan, pen.) dan meletakkan telapak tangan kirinya pada paha dan lututnya yang kiri dan meletakkan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian menggenggamkan dua jarinya dan terkadang ibu jari dan jari tengahnya membentuk bulatan lalu menggerak-gerakkan  jari telunjuknya sambil berdoa. [HR. an-Nasa’i]
Jika dianalisa dan dibandingkan, ternyata didapati banyak jalur sanad lain yang juga dari Wail bin Hujr, namun kebanyakan tidak mencantumkan kata "يُحَرِّكُهَا " (menggerak-gerakkan) sebagaimana dalam riwayat ini yang di dalamnya terdapat seorang rawi bernama Zaidah bin Qudamah. Zaidah bin Qudamah inilah yang menambahkan kata tersebut dalam matan hadits yang ia riwayatkan. Dalam ilmu Musthalah al-Hadits, tambahan dalam suatu matan hadits yang menyalahi matan yang ada dalam jalur sanad lain yang sama dapat dikategorikan sebagai "sadz" (cacat). Jika tidak menyalahi, maka tambahan tersebut diistilahkan dengan ziyadah tsiqat (tambahan yang menguatkan). Zaidah, meski sebagai rawi dinilai oleh para ulama kritikus hadits dengan tsiqah tsabat (kuat dan stabil), namun ia memberi tambahan yang bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang lebih kuat. Selain riwayat ini, hadits lain yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, dan Imam al-Baihaqi.
Dalil lain yang sering digunakan adalah penggalan lafaz sebuah riwayat dari Ibnu Umar (Jami' Masanid wa al-Marasil: 16954), "لَهِيَ أَشَدُّ عَلٰى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ " ((jari telunjuk itu) akan terasa lebih keras pada setan dari sekedar (pukulan) besi). Artinya, orang yang mengamalkan penggerakan jari telunjuk ketika tasyahud bermaksud untuk mengusir setan agar tidak mengganggu shalatnya. Padahal Ibnu Umar sendiri dalam riwayat tersebut tidak menyebutkan adanya penggerakan telunjuk jari.
Sedangkan kebanyakan riwayat terkait tema tasyahud ini tidak ada yang memerintahkan untuk menggerakkan telunjuk jari, hanya mengacungkannya sejak awal tasyahud hingga salam. Sebagaimana riwayat dari Abdulah bin Zubair, Abdulah bin Umar, Aisyah, dan Abu Hurairah. Pun demikian mayoritas ulama mazhab berpendapat untuk tidak menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
2.      Sikap Muhammadiyah mengenai Ahmadiyah dan RUU Pornografi seperti apa?
Secara khusus, Muhammadiyah memang tidak mengeluarkan pernyataan sikap tentang Ahmadiyah. Namun, secara umum Muhammadiyah telah mempunyai pandangan bahwa siapa pun itu, jika mengimani adanya nabi setelah Nabi Muhammad saw adalah kafir. Hal ini seperti ditegaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Kitab Beberapa Masalah:
Barang siapa mengimankan kenabian seseorang sesudah Nabi Muhammad SAW, maka harus diperingatkan dengan firman Allah “Muhammad itu bukannya bapak seseorang dari padamu, tetapi ia Pesuruh Allah dan penutup sekalian Nabi”; dan sabda Rasulnya: “Dalam ummatku akan ada pendusta-pendusta, semua mengaku dirinya Nabi, padahal aku ini penutup sekalian Nabi, yang tidak ada Nabi selain Nabi sesudahku”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaihi dari Tsauban). Begitu juga sabda nabi : “Perumpamaanku dan sekalian Nabi sebelumku adalah ibarat seorang yang mendirikan gedung. Maka diperbaguskan dan perindahkan bangunan itu kecuali satu bata (yang belum dipasang) pada salah  satu penjuru-penjurunya, maka orang-orang mengelilinginya dengan heran dan katanya : “Mengapakah bata ini tidak dipasang?”. Sabda Rasulullah : “Aku inilah bata itu, dan aku inilah penutup sekalian Nabi”. (hadits ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah);dan banyak lagi hadits yang menerangkan dengan jelas bahwa tak ada Nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. Jikalau orang tidak menerima dan tidak mempercayai ayat dan hadits tersebut maka ia mendustakannya, maka barang siapa mendustakannya maka kafirlah ia.
Adapun mengenai pornografi, telah kami sampaikan pada beberapa nomor sebelumnya, telah diputuskan dalam Musyawarah Nasional Tarjih ke-26 tahun 2003 di Padang Sumatera Barat bahwa hukumnya adalah haram. Silakan saudara periksa kembali beberapa nomor Majalah Suara Muhammadiyah yang telah lalu.

Wallahu a’lam bish-shawab. *mr-am)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

IMAM MENGHADAP MAKMUM SETELAH SHALAT


Pertanyaan Dari:
Ibrahim Sa’id, BA / Irsyad, NBM 482.005, anggota Muhammadiyah Cabang Serijabo
(disidangkan pada hari Jum'at, 17 Zulhijjah 1430 H / 4 Desember 2009)


Pertanyaan:

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Mohon penjelasan tentang dalil yang terdapat dalam HPT cetakan ke 3 hal 139 No. 27 tentang Nabi Muhammad saw apabila telah selesai mengerjakan shalat beliau menghadapkan mukanya kepada makmum.
1.      Apakah beliau menghadapkan mukanya tanda komentar, apakah ada yang di sampaikannya kepada makmum?
2.      Apakah kita harus melakukan seperti itu juga?
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, berikut ini kami kutip hadis yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih Cetakan ke-3 hal 139 No. 27, sebagai berikut:
لِمَا رَوَاهُ الْبُخَارِِِِِى عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ قَال كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى صَلاَةً أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
Artinya: Karena hadis riwayat Bukhari dari Samurah, berkata: “adalah Nabi SAW, apabila telah selesai shalat, beliau menghadapkan mukanya kepada kita” [HR. Bukhari]
Hadis di atas menunjukkan atas disyariatkannya seorang imam menghadap ke makmum setelah selesai shalat, dan senantiasa melakukan hal tersebut.
Tentang hikmah atau tujuan Nabi saw melakukan hal itu, ada beragam pendapat. Ada yang mengatakan bahwa menghadapnya imam kepada makmum setelah shalat bertujuan untuk memberikan pelajaran tentang hal-hal yang diperlukan makmum, sehingga dikhususkan bagi orang yang mendapati keadaan seperti Rasulullah saw ini memiliki kecakapan untuk mengajarkan dan memberi nasehat. Ada pula yang berpendapat bahwa hal itu untuk mengetahui selesainya shalat, karena sekiranya imam senantiasa pada duduknya setelah shalat, maka bias jadi difahami bahwa imam masih dalam tasyahud (belum selesai shalat). (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)
Ibn Qudamah di dalam kitab al-Mughni jilid 1 halaman 561 mengatakan bahwa berubahnya arah duduk imam adalah untuk memastikan telah selesainya shalat itu bagi imam. Hal ini agar makmum bisa memastikan bahwa imam telah benar-benar selesai dari shalatnya. Sebab dengan mengubah arah duduk, imam akan meninggalkan arah kiblat dan hal itu jelas akan membatalkan shalatnya.
Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa dengan menggeser arah duduk ke belakang atau ke samping, berarti imam sudah yakin 100% bahwa rangkaian shalatnya sudah selesai seluruhnya dan terputus. Tidak sah lagi apabila tiba-tiba ia teringat mau sujud sahwi atau kurang satu rakaat. Demikian disebutkan di dalam kitab Hasyiyatu Ibnu Qasim 'alar-Raudhah jilid 12 halaman 354-355.
Zain ibn Munir berpendapat bahwa membelakanginya imam kepada makmum itu adalah hak seorang imam, dan apabila shalat telah selesai maka hilanglah alasan untuk membelakangi makmum. Seorang imam yang menghadap kepada makmum saat itu adalah untuk menghilangkan kesombongan dan perasaan angkuh terhadap makmum. (Lihat Nailul-Authar, jilid 2 hal 326)
Selanjutnya, mengenai apakah Rasulullah saw memberi komentar atau tidak pada saat menghadap makmum, ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal tersebut. Salah satunya seperti yang dikisahkan dalam sebuah hadis Nabi saw dari Yazid bin al-Aswad, sebagaimana tersebut di dalam Kitab Nailul-Authar, 2: 354:
وَعَنْ يَزِيدَ بْنِ اْلأَسْوَدِ قَالَ: حَجَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ قَالَ: فَصَلَّى بِنَا صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ انْحَرَفَ جَالِسًا فَاسْتَقْبَلَ النَّاسَ بِوَجْهِهِ وَذَكَرَ قِصَّةَ الرَّجُلَيْنِ اللَّذَيْنِ لَمْ يُصَلِّيَا...  [رواه أحمد وأبو داود والنسائى والترمذى]
Artinya: “Diriwayatkan dari Yazid ibn al-Aswad, ia berkata:“Kami ikut haji wada’ bersama Rasulullah saw, kemudian Yazid berkata: Lalu beliau shalat subuh bersama kami kemudian beliau berpaling sambil duduk dan menghadap kepada makmum, kemudian beliau menceritakan kisah dua orang pemuda yang tidak ikut shalat berjamaah … .” [HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan at-Tirmidzi ]
At-Tirmidzi menyatakan bahwa hadis tersebut tergolong hadis dengan derajat Hasan Shahih. Menurut at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an-Nasai, kisah yang diceritakan Nabi saw adalah tentang dua orang pemuda yang tidak ikut shalat berjamaah sedangkan keduanya berada di masjid, dan menyuruh kedua pemuda tersebut untuk menghadap kepada beliau. Maka setelah beliau shalat subuh bersama sahabat pada haji wada’, Rasulullah saw menghadap makmum dan menceritakan tentang kedua pemuda tersebut.
Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa setelah Nabi saw shalat, beliau menghadap makmum dan terkadang memberi komentar atau nasehat.
Adapun mengenai apakah kita harus melakukan seperti yang Nabi saw lakukan, sebagai umat Islam yang menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswatun hasanah (suri teladan yang baik) dalam segala bidang, khususnya dalam masalah yang berkenaan dengan ibadah shalat, maka hal itu menjadi teladan dan layak diikuti dalam setiap mengerjakan shalat berjamaah. Namun demikian, dari segi hukum apa yang dilakukan oleh Nabi saw tersebut tidak sampai kepada hukum wajib, tetapi sunnah atau dianjurkan.

Wallahu a'lam bish-shawab. *putm)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

HALAL HARAM FACEBOOK

Pertanyaan Dari:
Ilfah Rainami, ilfah_rainami@yahoo.com, Jetis Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum'at, 17 Rajab 1430 H / 10 Juli 2009 M)


Pertanyaan:

Akhir-akhir ini marak berita tentang keharaman facebook, salah satu situs di internet yang merupakan layanan pertemanan. Padahal, banyak sekali teman-teman Angkatan Muda Muhammadiyah termasuk saya yang menggunakan facebook, yang salah satu tujuannya untuk menjalin silaturahmi dan saling tukar ide, pikiran, informasi dan pengalaman berorganisasi. Berkenaan dengan itu, kami mohon penjelasan dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang hal-ihwal halal-haram facebook tersebut.


Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudari ajukan. Sebelum kami menjawab, perlu kiranya diketahui lebih dahulu apa itu facebook.
Facebook adalah suatu situs di internet yang memberikan layanan pertemanan, atau sering disebut sebagai jejaring sosial. Siapa pun bisa menjadi anggota atau menggunakan layanan facebook ini, tanpa dipungut biaya. Dengan facebook, seseorang dapat berkomunikasi dengan orang lain yang telah menjalin pertemanan di facebook, bahkan dengan berbagai cara sekaligus. Bisa melalui kotak pesan seperti e-mail, obrolan dua arah (chatting), informasi status terkini, komentar status, percakapan wall to wall, dan lain-lain.
Bahkan facebook memungkinkan seseorang untuk menuliskan catatan pribadi, artikel maupun tulisan-tulisan lain yang dapat diakses oleh banyak temannya di facebook, termasuk bertukar gambar, photo, cuplikan video, lagu maupun rekaman suara. Facebook juga memberi layanan untuk bergabung dengan berbagai macam group sesuai minat penggunanya, berbagai macam kuis dan permainan serta memilih tokoh idola. Singkat kata, facebook dapat dikatakan sebagai salah satu situs yang menyediakan layanan terlengkap sepanjang sejarah perkembangan dunia maya.
Lalu, bagaimana hukum Islam memandang facebook? Facebook merupakan salah satu produk keberhasilan teknologi canggih di zaman modern ini, di samping banyak lagi yang lain seperti telepon seluler 3G dengan fasilitas video call (panggilan telepon yang dapat menampilkan gambar dua orang yang saling bertelepon), radio/ televisi internet yang mampu menyiarkan secara langsung berbagai acara atau kegiatan ke seluruh penjuru dunia. Facebook, termasuk dalam persoalan muamalah duniawiyah. Oleh karena itu, berlaku kaidah fikih sebagai berikut:
الأَصْلُ فِى المُعَامَلةِ الإبَاحَةُ فَلاَ يُحْظَرُ مِنهَا إِلاَّ مَا حَرَّمَهُ اللهُ. [القواعد النورانية الفقهية، تأليف ابن تيمية]
Artinya: “Hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah (boleh), tidak dilarang kecuali yang diharamkan oleh Allah.” [al-Qawaid al-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah, Ibnu Taimiyah]
الأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى عَدَمِ اْلإِبَاحَةِ. [إرْشَادُ الفُحُوْلِ، الشَّوْكَانِى، 284]
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya.” [Irsyadul-Fuhul, Imam asy-Syaukani, 284)
الأمُوْرُ بمَقاصِدِهَا [الأشبَاهُ وَ الَنظاِئرُ، تألِيْفُ ِابْنُ نُجَيْم، 39]
Artinya: “Segala perkara tergantung niatnya.” [al-Asybah wa an-Nazhair, Ibnu Nujaim, hal. 39)
الوَسَائِلُ لَهَا أَحْكَامُ اْلمَقَاصِِدِ فَمَا لاَ يَتِمُّ اْلوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فهُوَ وَاجبٌ، وَمَا لاَ يَتِمُّ اْلمَسْنُوْنُِ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ مَسْنُوْنٌ، وَطُرُقُ اْلحَرَامِ وَاْلمَكْرُوْهَاتِ تَابِعَةٌ لَهَا، وَوَسِيلَةُ اْلمُبَاحِ مُبَاحٌ. [رسَالة في أصُوْلِ الفِقهِ تألِيُفُ عبْدُ الرَحْمنِ بن ناصر السَعْدي]
Artinya:Hukum alat tergantung dengan hukum niat, sesuatu yang menjadi wasilah untuk melakukan perbuatan wajib, hukumnya juga wajib, sesuatu yang menjadi wasilah untuk melakukan perbuatan sunnah, hukumnya juga sunnah, jalan menuju ke haram dan makruh mengikuti hukum asal perbuatannya, jalan menuju hal yang mubah hukumnya juga mubah.” [Risalatu fi Ushuli al-Fiqhi, Abd ar-Rahman ibn Nashir as-Sa'diy]
Dalam menghukumi facebook, harus dibedakan antara dua hal. Pertama, hukum facebook itu sendiri, dan kedua, perbuatan yang dilakukan melalui facebook. Yang pertama, facebook tidaklah lebih dari sebuah benda, alat atau objek. Sebagai benda, ia tak ada bedanya dengan alat-alat lain seperti komputer, pisau, pena, handphone, motor, dan lain sebagainya. Ia bisa digunakan untuk kepentingan apa saja. Pisau contohnya, ia bisa digunakan sebagai peralatan memasak, menyembelih hewan kurban, tetapi bisa juga digunakan sebagai alat tindak kejahatan membunuh. Hukum pisau sebagai sebuah benda adalah mubah. Hukum pisau akan berubah sesuai dengan fungsi atau perbuatan yang menungganginya. Ia bisa menjadi wajib, jika digunakan sebagai alat untuk mengerjakan yang wajib, bisa sunnah jika digunakan mendukung pekerjaan sunnah, bahkan bisa menjadi haram jika digunakan untuk sesuatu yang haram.
Berangkat dari kaidah-kaidah di atas, maka hukum facebook tergantung pada niat penggunaan facebook itu sendiri. Jika digunakan untuk kepentingan menjalin silaturahmi, menebarkan kebaikan, berdakwah melalui internet, maka facebook menjadi wasilah yang diperbolehkan (mubah) atau bahkan dianjurkan (mustahab) karena baiknya perbuatan-perbuatan itu. Tentang baiknya perbuatan menjalin silaturahmi ada banyak keterangan dari hadis Nabi saw yang menyebutkan keutamaannya. Di antaranya adalah:
عَنِ الزُّهْرِيِّ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwasanya Muhammad bin Jubair bin Muth'im telah mengabarkannya bahwasanya ayahnya telah mengabarkannya bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: Tidaklah masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi.” [HR. Muslim]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung silaturahmi.” [HR. Muslim]
Hukum menggunakan facebook untuk kepentingan-kepentingan seperti tersebut di atas termasuk ke dalam kategori firman Allah:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ. [سورة المائدة، 5: 2]
Artinya:dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.[QS. al-Maidah (5): 2]
Sebaliknya, jika digunakan untuk menyebarkan perbuatan pelanggaran seperti permusuhan, menyebar isu (gosip), fitnah, keburukan, kemaksiatan, kemunkaran maka jelas menggunakan facebook diharamkan. Hukum faceebook untuk kepentingan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Hujurat (49): 12]
Dan ayat:
إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آَمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآَخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ. [سورة النور، 24: 19]
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. An-Nur (24): 19]
Dan ayat:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ. [سورة لقمان، 31: 6]
Artinya: “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan percakapan kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang dihinakan.” [QS. Luqman (31): 6]

Dari dahulu sampai sekarang, para dai terbiasa menyampaikan pesan-pesan moral dan keagamaan melalui metode ceramah, khutbah dan menulis. Sekarang, metode ini harus dikuatkan dengan memanfaatkan media-media semisal televisi, koran dan kemajuan teknologi dalam berkomunikasi seperti handphone dan facebook atau pun fasilitas-fasilitas lain yang dapat diakses melalui internet. Oleh karena itu, untuk kepentingan dakwah, hukum menggunakan facebook menjadi sunnah. Mengharamkan facebook semata-mata karena ia adalah sebuah fasilitas yang bisa disalahgunakan, adalah bukan tindakan yang tepat dan bijak. Sebab, facebook juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan dakwah Islam. Para ulama sering menyebutkan kaidah:
المُبَالَغَةُ فِى سَدِّ الذَّرَائِعِ كَالمُبَالَغَةِ فِى فَتْحِهَا. [فقه الغناء و الموسيقى, تأليف يُوْسُف القرْضَاوِى، 73]
Artinya: “Mudarat yang ditimbulkan dalam sikap berlebih-lebihan melarang sesuatu yang menjerumuskan ke dalam keburukan, sama besarnya dengan mudarat yang ditimbulkan oleh berlebih-lebihan dalam membuka jalan tersebut.” [Fiqhul Ghina wal Musiq, Yusuf al-Qaradawiy, hal 73]

Kesimpulan
Hukum facebook tergantung pada penggunaannya. Oleh karena itu, warga Muhammadiyah dan umat Islam serta masyarakat pada umumnya yang menggunakan fasilitas facebook dihimbau agar memanfaatkan situs ini untuk kepentingan menggali informasi, menjalin dan menguatkan silaturahmi antar sesama warga Muhammadiyah dan umat Isam, serta menyebarkan dakwah Islam. Di samping itu, perlu juga diperhatikan agar facebook dimanfaatkan secara efektif dan efisien agar tidak menjerumuskan pada perbuatan yang berlebih-lebihan lagi sia-sia) yang dapat melalaikan penggunanya dari kewajiban-kewajibannya, baik kewajiban kepada Allah maupun kewajiban kepada sesama manusia seperti shalat, bekerja, sekolah, dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam bish-shawab. *am-mr)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

CARA TAKBIR ZAWAID DALAM SHALAT IDAIN

Pertanyaan Dari:
Arief Fadhillah, Bandung Jawa Barat
(disidangkan pada Jum’at, 23 Muharram 1429 H / 1 Februari 2008 M)


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Selama 2 (dua) tahun terakhir kami telah mengikuti pelaksanaan ibadah shalat Idain (Idul Fithri dan Idul Adha) di 4 (empat) tempat yang berbeda, dan terakhir kami mengikuti shalat Idul Fithri tanggal 12 Oktober 2007 yang diselenggarakan oleh warga Muhammadiyah Sukamenak Bandung Jawa Barat. Dalam pelaksanaan shalat Id di Bandung tersebut ada perbedaan dengan apa yang biasa dilakukan oleh Pemerintah dan Muhammadiyah di tempat lain.
Pertanyaan kami:
1.      Mengapa sesama Muhammadiyah terdapat perbedaan pada cara pelaksanaan takbir shalat Idain?
2.      Apa yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pelaksanaan takbir shalat Idain tersebut? 
Kami mohon penjelasan dari Majlis Tarjih dan Tajdid tentang perbedaan tata cara pelaksanaan shalat Id tersebut.


Jawaban:

Persoalan yang saudara tanyakan sama dengan apa yang telah ditanyakan oleh saudara Muhammad Parigi dari Sulawesi Tengah, dan jawaban lengkap tentang itu bisa dibaca pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 hal. 113-115. Secara ringkas dapat kembali kami sampaikan: Muktamar Tarjih ke-20 di Garut tahun 1976 telah memutuskan bahwa takbir dalam shalat Idain ialah tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua. Keputusan Muktamar Tarjih tersebut telah ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1397/1977.
Adapun keputusan itu berbunyi:
ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ تَكْبِيْرَةِ الإِحْرَامِ سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ لِلرَّكْعَةِ الأُوْلَى وَخَمْسًا لِلثَّانِيَةِ.
Artinya: “Kemudian sesudah takbiratul-ihram, membaca tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua.”
Sedangkan dalil-dalil yang dijadikan alasan adalah:
1- أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ فِي اْلأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِي اْلآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ. [رواه الترمذى]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada shalat dua hari raya tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua sebelum membaca (surat)." [HR. at-Tirmidzi]
2- أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي عِيدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً سَبْعًا فِي اْلأُولَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ وَلَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا. [رواه أحمد]
Artinya: “Sesungguhnya Nabi saw. bertakbir pada (shalat) hari raya dua belas kali takbir, pada rakaat pertama tujuh kali (takbir) dan pada rakaat yang terakhir (kedua) lima kali (takbir), dan beliau tidak shalat (sunnah) baik sebelum maupun sesudahnya.” [HR Ahmad]
3- عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّكْبِيرُ فِي الْفِطْرِ سَبْعٌ فِي اْلأُولَى وَخَمْسٌ فِي اْلآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdillah bin 'Amr bin 'Ash ia berkata, Nabi saw bersabda: Takbir di hari raya fithri tujuh kali (takbir) pada (rakaat) pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat yang akhir (kedua), dan bacaan sesudah kedua-duanya.” [HR. Abu Dawud]
Untuk menjawab pertanyaan saudara (mengapa sesama Muhammadiyah ada perbedaan dalam pelaksanaan takbir shalat Id dan apa yag menyebabkan adanya perbedaan tersebut), sesuai dengan hasil pembacaan kami terhadap dokumen Tarjih yang ada kaitannya dengan pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Mengenai jumlah takbir zawaid di dalam shalat Idain terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa takbir zawaid itu tujuh dan lima, yakni sesudah takbiratul ihram membaca tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada raka'at kedua setelah takbir intiqal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa takbir dalam shalat Idain itu satu–satu, yaitu takbir dalam shalat Idain dilakukan satu kali pada raka'at pertama dan kedua sebagaimana halnya shalat biasa seperti shalat jum'at dan lain-lain.
Pendapat pertama (takbir zawaid berjumlah tujuh–lima) beralasan pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzy sebagaimana dijelaskan di atas. Juga berdasarkan kepada Qaidah Tarjih tentang "hadits-hadits dhaif  yang dapat dijadikan hujjah". Qaidah yang dimaksud adalah:
الأَحَادِيْثُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهَا بَعْضًا لاَيُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلًّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلمَ ْ تُعَارِضِ الْقُرْآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ.
Artinya: “Hadits-hadits dhaif yang menguatkan satu pada lainnya tidak dapat digunakan sebagai hujjah, kecuali apabila banyak jalannya dan terdapat padanya qarinah yang menunjukkan ketetapan asalnya dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Shahih.”
Dari qaidah tersebut dapat dipahami bahwa hadits-hadits tentang takbir zawaid, meskipun tingkatannya tidak sampai pada derajat hadits shahih bahkan dikatakan dha'if, tetapi jalannya banyak dan terdapat qarinah yang menunjukkan asalnya, yaitu bahwa  takbir tujuh–lima dipraktekkan oleh beberapa shahabat.
Sedangkan pendapat kedua, takbir dalam shalat Idain itu satu–satu seperti yang dipegangi oleh Muhammadiyah Jawa Barat, beralasan bahwa hadits-hadits yang menunjukkan takbir tujuh–lima semuanya tidak ada yang sampai pada derajat shahih, dan hadits dhaif meskipun banyak jumlahnya tidak bisa saling kuat menguatkan untuk dijadikan hujjah. Muhammadiyah Jawa Barat belum menerima Qaidah "hadits-hadits dhaif yang dapat dijadikan hujjah", karena bertentangan dengan (pemahaman) definisi "as-sunnah ash-shahihah" yang terdapat dalam definisi ad-Din menurut keputusan Tarjih. Menurut Muhammadiyah Jawa Barat, yang dimaksud as-sunnah ash-shahihah dalam definisi ad-Din adalah hadits shahih, sedangkan hadits hasan, baik hasan lidzatih atau hasan lighairih tidak termasuk hadits shahih. Definisi ad-Din yang telah diputuskan oleh Majlis Tarjih pada tahun 1954 adalah sebagai berikut:
الدِّيْنُ (أى الدين الإسلامي) الَّذِى جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلّم هُوَ مَا أَنْزَلَهُ اللهُ فِى الْقُرْآن ِوَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الصَّحِيْحَةُ مِنَ اْلأَوَامِرِ وَالنَّوَاهِى وَاْلإِرْشَادَاتِ لِصَلاَحِ اْلعِبَادِ دُنْيَاهُمْ وَأُخْرَاهُمْ.
Artinya: "Agama (agama Islam) adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur'an dan yang tersebut dalam sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan di akhirat.
Demikianlah penjelasan atau jawaban yang dapat kami sampaikan semoga menjadikan wawasan bagi kita semua.

Wallahu a'lam bishshawab. *A.56h) 
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

TAKBIR IDUL FITRI DAN IDUL ADHA

Pertanyaan Dari:
M. Munzir Rowa, NBM. 771505, Ketua Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah Pagatan Tanah Bumbu Kalsel
  
Pertanyaan:

1.      Kami lihat sekarang takbir id itu ada dua macam yang sering dilakukan umat Islam, yaitu ada 3 kali takbir dan ada 2 kali. Mana yang kuat dasar hukumnya?
2.      Ada juga menambah kabiran wal hamdu lillahi kasiran dan seterusnya. Mana yang lebih baik afdal dipakai?
3.      Masalah waktunya haruskah begitu selesai salam shalat fardhu atau boleh dilaksanakan waktu selesai sunat-sunat lain ba'dal shalat?
Mohon jawaban dengan dalil-dalilnya. Terima kasih atas jawaban yang diberikan.
Wassalam


Jawaban:

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak yang telah mengajukan pertanyaan kepada kami. Namun perlu Bapak ketahui, bahwa pertanyaan yang sama telah sering disampaikan kepada kami sebelumnya dan telah pula kami jawab berikut dengan dalil-dalilnya. Bahkan, masalah Takbir Hari Raya ini telah menjadi Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih ke-20 tahun 1396 H / 1976 di Garut Jawa Barat. Untuk itu kami menganjurkan agar Bapak membaca kembali jawaban-jawaban dari kami yang telah dimuat di Buku Tanya Jawab Agama dan Majalah Suara Muhammadiyah sebagai berikut:
a.       Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 1 halaman 95
b.      Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 3 halaman 141
c.       Buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 5 halaman 71
d.      Majalah Suara Muhammadiyah No. 22 Tahun 2004
e.       Majalah Suara Muhammadiyah No. 12 Tahun 2009
Namun demikian, secara singkat perlu kiranya kami tegaskan kembali di sini sekedar untuk memberi informasi ringkas tentang masalah takbir idul fitri dan idul adha tersebut.
1.Tuntunan takbir yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw menurut Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ
atau:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Dalam dua lafadz di atas jelas bahwa jumlah bacaan takbir pada permulaan lafadz adalah dua kali.
2.      Tentang tambahan bacaan kabiran wal hamdu lillahi katsiran dan seterusnya, kami belum menemukan dalil yang khusus bahwa ada tambahan lafadz dalam lafadz takbir idul fitri dan idul adha. Majelis Tarjih dan Tajdid memandang bahwa lafadz takbir hari raya adalah bagian dari ibadah mahdlah, sehingga ketentuannya harus dikembalikan kepada dalil-dalil dari as-sunnah al-maqbulah. Oleh sebab itu dalam bertakbir tidak perlu ada tambahan lafadz selain dua lafadz di atas.
3.      Tidak ada ketentuan yang pasti tentang kapan saja takbir dikumdangkan. Oleh sebab itu, yang dipedomanii adalah anjuran memperbanyak takbir. Adapun waktunya dapat dilakukan kapan saja yang memungkinkan asal masih di dalam batas waktu yang diperintahkan; untuk idul fitri mulai terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadan sampai salat Id ditegakkan; dan untuk Idul Adha adalah sesudah salat Subuh pada hari ‘Arafah sampai akhir hari Tasyriq.

Wallahu a'lam bish-shawab. *am)
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

MASALAH LAFADZ TAKBIR HARI RAYA

Pertanyaan dari:
Dakwah Muhammadiyah Cabang Kp. Baru, Labuhan Haji Aceh Selatan, NAD

Pertanyaan:

Masalah Takbir Hari Raya:
1.      Ucapan Allahu Akbar ada yang 2x dan ada yang 3x, mana yang lebih baik, beserta dalilnya?
2.      Ucapan Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lillahi katsira ... dst sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun, dll., kemudian diteruskan dengan La ilaha illallahu wahdah ... dst sampai wa hazamal-ahzaba wahdah. Apakah ada dasarnya?
Mohon penjelasan beserta dalil-dalilnya.


Jawaban:

Sebenarnya yang saudara tanyakan tentang permasalahan lafadz takbir hari raya (’Ied) tersebut telah sering ditanyakan dan telah dijawab serta telah dibukukan pada buku Tanya Jawab Agama terbitan Suara Muhammadiyah jilid 1 halaman 95, jilid 3 halaman 141 dan jilid 5 halaman 71 serta di Majalah Suara Muhammadiyah No. 22 Tahun 2004. Namun agar lebih jelasnya lagi, maka kami akan menjawab pertanyaan saudara sekaligus melengkapi jawaban-jawaban yang sebelumnya.
1.      Menurut Muhammadiyah, lafadz takbir ’Ied yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw adalah:
a.       Lafadz takbir ‘Ied seperti disandarkan kepada Ibn Mas’ud, ‘Umar ibn al-Khattab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, di antaranya adalah sebagai berikut:
اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Tiada Tuhan melainkan Allah dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar dan bagi Allah-lah segala puji.” (berdasarkan hadits riwayat Ibn Abi Syaibah, Mushannaf, tahqiq: Kamal al-Hut, juz 1 hlm 490 no. 5650, 5651, 5653. Ibn al-Mundzir, Al-Awshat, juz 7, hlm 22 no: 223, hlm 23, 24, 25 no:224, 225, 226)
Ucapan Allahu Akbar dalam takbir ‘Ied pada redaksi hadits di atas jelas hanya diucapkan dua kali, tidak tiga kali.
b.      Lafadz takbir ‘Ied sesuai hadits riwayat Abdur Razaq dari Salman dengan sanad yang shahih, yang mengatakan:
كَبِّرُوْا، اَللهُ أًكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat ash-Shan’aniy, Subul as-Salam,  Juz II: 76)
كَبِّرُوْا، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
Artinya: “Bertakbirlah: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Sungguh Maha Besar. (lihat al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Juz III: 316)
Pada hadits kedua ini, terdapat perbedaan lafadz. Pada lafadz pertama disebutkan takbir diucapkan tiga kali, sementara pada lafadz kedua, takbir diucapkan dua kali. Majelis Tarjih Muhammadiyah, melalui Muktamar Tarjih XX yang berlangsung tanggal 18 s.d 23 Rabi’ul Akhir 1939 Hijriyah di Kota Garut Jawa Barat memilih menggunakan lafadz takbir dengan mengucapkan Allahu Akbar dua kali.
2.       Adapun ucapan takbir yang kedua, yaitu Allahu Akbar Kabira wal-hamdu lil-Lahi katsira… dan seterusnya sampai wa lau karihal-kafirun, musyrikun dan lain-lain, kemudian diteruskan dengan La ilaha illa-Llahu wahdah … dan seterusnya sampai wa hazamal-ahzaba wahdah. Sementara ini kami belum menemukan dasar atau dalil yang secara jelas menuntunkan bertakbir hari raya dengan lafadz seperti itu. Namun pada kasus lain, kami menemukan beberapa hadis yang barangkali sama dengan lafadz yang saudara maksudkan, di antaranya adalah:
a.       Pertama, hadis yang menunjukkan bacaan dzikir pada akhir pelaksanaan shalat:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُولُ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ الصَّلاَةِ يَقُولُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ أَهْلُ النِّعْمَةِ وَالْفَضْلِ وَالثَّنَاءِ الْحَسَنِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abi Zubair, ia berkata: Aku mendengar Abdullah ibn Zubair di atas mimbar berkata: Apabila Rasulullah saw selesai melaksanakan shalat, beliau membaca: La ilaaha illa-lLahu wahdah, mukhlishina lahud-din, wa lau karihal-kafirun, ….” [HR. Abu Dawud]
b.      Kedua, ketika Nabi saw pulang dari perang, haji atau umrah ada riwayat dari Ibn ‘Umar yang menyatakan bahwa setelah Nabi saw mengucapkan takbir lalu lanjutan matannya menyebutkan doa kembali dari perjalanan:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ سَاجِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ صَدَقَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ. [رواه البخاري ومسلم]
 Artinya: “Kita telah kembali, kita bertaubat, kita tetap menyembah pada Tuhan kita (Allah) dan tetap memuji-Nya: Allah tepati janji-Nya, Dia tolong hamba-Nya, dan Dia kalahkan musuh-musuh-Nya seorang diri.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Lafadz-lafadz yang terkandung dalam kedua hadis tersebut bukan dikhususkan untuk dibaca sebagai lafadz takbir pada hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Majelis Tarjih dan Tajdid memandang bahwa lafadz takbir hari raya adalah bagian dari ibadah mahdlah, sehingga ketentuannya harus dikembalikan kepada dalil-dalil dari as-sunnah al-maqbulah. Oleh sebab itu, dalam mengumandangkan takbir pada dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, dimaksimalkan dapat menggunakan lafadz takbir yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad saw.

Wallahu a’lam bish-shawab. *putm)

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah